Halaman

Kamis, 13 Juni 2013

BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) dan Opioid pada Kanker


 
Selepas kenaikan harga BBM, orang-orang miskin akan dibalsem. Dikasih BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat). Ini nama baru dari konsep lama: BLT. BLSM/BLT hanya semacam painkiller. Orang miskin ditampar dan dipukuli lalu dikasih pereda rasa sakit. Painkiller tidak menyembuhkan.

Kutipan diatas saya ambil dari status facebook Farid Gaban, seorang jurnalis dan mantan redaktur majalah Tempo dan Harian Republika, yang mengandaikan kenaikan harga BBM akan menyebabkan rakyat seolah dihajar lalu pemerintah dengan ‘baik hati’nya memberikan pereda nyeri berupa BLSM.

Salah satu yang bisa kita buat perbandingan adalah bagaimana mencari solusi tepat untuk mengatasi nyeri yang disebabkan oleh kanker. Seperti kita ketahui bersama bahwa pasien-pasien kanker mengalami nyeri yang sangat hebat. Nyeri ini bisa berasal dari kanker itu sendiri dan berasal dari pengobatan kanker yang digunakan. Jadi, pengobatan (operasi, radiasi, kemo) yang digunakan untuk memerangi kanker memiliki efek samping menimbulkan nyeri (peripheral neurophaty). Akibatnya, terdapat pilihan dilematis apakah menghentikan pengobatan kanker yang diberikan ataukah melanjutkan pengobatan dengan resiko nyeri yang ditimbulkannya ?

Parahnya lagi, dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa nyeri yang dirasakan oleh pasien malah makin menyebabkan pertumbuhan kanker karena nyeri menyebabkan peningkatan stress pasien yang ditengarai menekan sistem imun dari pasien. Satu-satunya jalan adalah memberikan pereda nyeri. Tetapi pemberian pereda nyeri ini bukan tanpa masalah. Selain hanya berfungsi sebagai obat simptomatik (mengobati gejala), penggunaan golongan opioid sebagai terapi standar nyeri kanker juga memiliki keterbatasan. Berkembangnya acute tolerance (toleransi akut) menyebabkan pasien kanker makin lama makin membutuhkan dosis obat opioid yang lebih besar. Peningkatan dosis opioid mengakibatkan peningkatan efek sampingnya yang bermacam-macam salah satunya adalah adiksi (ketergantungan).

Seperti itulah gambaran singkatnya , lalu kemudian apa hubungannya dengan status mas Farid Gaban mengenai BLSM sebagai anti nyeri ?. mari kita sama-sama melihatnya.

Jika mengandaikan bahwa keuangan negara sedang digerogoti oleh sel kanker bernama korupsi dan hutang negara yang menghasilkan kesakitan bagi negara/rakyat maka kita sudah bisa memasang plot-plot cerita yang disesuaikan dengan skenario diatas. Kebijakan pemerintah menghilangkan subsidi BBM, andaikan sebagai salah satu jalan untuk mengobati kankernya (bisa juga dibaca kantong kering) keuangan negara. Tetapi sayangnya bahwa kebijakan pengobatan ini memberikan efek samping kenaikan harga barang kebutuhan rakyat yang menambah kesakitan mereka. Kenaikan harga kebutuhan pokok membuat rakyat makin depresi dengan kondisi yang ada dan tentunya makin memperparah kesakitan yang mereka alami. Belum lagi pengobatan ini diterapkan, indikasi stress berjamaah sudah bisa dilihat. Sudjiwotedjo di akun twitternya menuliskan bahwa :

‘Jika kesetresan penumpang pesawat thp pramugari disusul kesetresan penumpang kereta thp petugas,dll fenomena..ini sudah kesetresan kolektif’

Lalu menghadapi kondisi ini pemerintah dengan ‘bijak’nya berencana memberikan anti nyeri, yang disebut oleh mas farid sebagai BaLSem, bermerek BLSM yang konon kabarnya diperoleh dari dana pinjaman luar negeri. Duh bukannya pinjaman ini juga salah satu varian yang menyebabkan kanker keuangan negara ?.

Kemudian dalam kebijakannya, pemerintah sepertinya kurang peduli bahwa anti nyeri bernama BLSM ini memiliki kharakteristik yang sama seperti golongan opioid. Rakyat bisa dipastikan akan mengalami toleransi akut terhadap besarnya dosis yang diberikan oleh pemerintah. Mungkin awalnya Rp. 150.000,- per bulan cukup, tetapi lama kelamaan pasti akan dirasa kurang oleh masyarakat sehingga memaksa pemerintah harus meningkatkan jumlahnya. Akibat makin tingginya nilai BLSM, bisa diprediksi menyebabkan rakyat suatu saat akan mengalami adiksi, sama persis dengan obat opioid.

Dan karena anti nyeri ini hanya bersifat sementara diberikan oleh pemerintah, maka ketika rakyat telah mengalami adiksi, apakah pemerintah tega menghentikannya ? tega melihat rakyat menjadi sakaw ?  Bukankah ini sama saja dengan penyiksaan terencana yang dilakukan oleh pemerintah ? bukankah ini pengrusakan mental terencana yang hendak dijalankan pemerintah ?

Satu-satunya perbedaan antara nyeri yang disebabkan oleh pengobatan kanker dan penghapusan subsidi BBM adalah bahwa mekanisme yang menyebabkan pengobatan kanker menghasilkan efek samping nyeri hingga kini belum bisa dijelaskan dengan sempurna sehingga belum mampu ditangani dengan baik. Sedangkan nyeri yang dihasilkan oleh penghapusan subsidi BBM mekanismenya jelas terang benderang walau oleh orang awam seperti kita. Para penelti-peneliti kebijakan ekonomi dinegara ini saya pikir sangat banyak dan yakinku, pasti mampu memberikan saran pengobatan yang jitu dalam menangani hal ini. Hanya dibutuhkan keinginan dan itikad baik dari pemerintah untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan nyeri tersebut.